Sekolah Bikin Cemas? Mengungkap Dampak Sistem Pendidikan terhadap Kesehatan Mental Anak
Selama ini sekolah dipandang sebagai tempat ideal untuk membentuk karakter, menanamkan pengetahuan, dan membekali anak-anak dengan keterampilan hidup. Namun, di balik semangat belajar dan rutinitas akademik, ada satu aspek yang sering kali terabaikan: kesehatan mental anak. Semakin banyak siswa yang mengaku merasa stres, cemas, bahkan depresi akibat tekanan yang datang dari lingkungan sekolah. https://www.cocooningspa.com/ Ini bukan sekadar keluhan sesaat, melainkan gejala serius yang menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres dalam sistem pendidikan kita.
Tekanan Akademik dan Beban Nilai
Salah satu pemicu utama kecemasan pada anak adalah tekanan untuk meraih nilai tinggi. Sistem pendidikan saat ini sangat berorientasi pada hasil—angka di rapor, ranking kelas, skor ujian nasional—sehingga menciptakan kompetisi yang tidak sehat di antara siswa. Anak-anak dituntut untuk selalu unggul, dan kegagalan sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang memalukan atau bahkan menyedihkan.
Bagi sebagian anak, kondisi ini menciptakan beban psikologis yang berat. Mereka bukan hanya belajar untuk memahami, tapi juga untuk menghindari hukuman sosial atau kekecewaan orang tua. Hal ini bisa menimbulkan rasa takut berlebihan terhadap kegagalan, yang dalam jangka panjang merusak rasa percaya diri dan kesehatan mental mereka.
Jadwal Padat, Waktu Istirahat Minim
Anak-anak sekolah, terutama di kota-kota besar, memiliki jadwal yang sangat padat. Mereka masuk pagi, belajar hingga siang, lanjut les atau kegiatan tambahan sore hari, lalu malamnya harus mengerjakan tugas. Hari Sabtu kadang masih diisi oleh try out atau kelas tambahan, dan hari Minggu dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk.
Kurangnya waktu istirahat dan relaksasi membuat anak rentan terhadap stres kronis. Tubuh dan pikiran mereka jarang punya waktu untuk memulihkan diri. Ini bukan hanya melelahkan secara fisik, tapi juga menggerogoti keseimbangan emosional dan kemampuan mereka dalam mengelola tekanan.
Hubungan Guru dan Murid yang Kurang Humanis
Hubungan antara guru dan murid memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat secara psikologis. Sayangnya, dalam banyak kasus, hubungan ini masih bersifat satu arah dan otoriter. Guru diposisikan sebagai pemegang kebenaran mutlak, sedangkan siswa harus tunduk tanpa banyak bertanya.
Minimnya ruang dialog, empati, dan pendekatan personal dapat membuat siswa merasa tidak didengar atau bahkan takut untuk bersuara. Ketika masalah pribadi muncul—baik di rumah, di sekolah, atau di dalam dirinya sendiri—tidak ada tempat aman bagi mereka untuk bercerita. Hal ini memperburuk kondisi emosional yang mungkin sedang rapuh.
Lingkungan Sekolah yang Kompetitif dan Tidak Inklusif
Persaingan bukan hanya soal nilai, tapi juga bisa meliputi status sosial, penampilan, hingga keterampilan tertentu. Di sekolah, anak-anak yang tidak masuk dalam “kategori ideal” sering kali menjadi korban bullying, isolasi sosial, atau tekanan untuk menyesuaikan diri. Siswa dengan kebutuhan khusus atau kepribadian introvert pun sering kali tidak mendapatkan dukungan yang layak.
Sekolah yang terlalu kompetitif dan tidak ramah terhadap keberagaman menciptakan rasa tidak aman bagi sebagian anak, yang kemudian berdampak langsung pada kondisi psikologis mereka. Perasaan terasing, tidak cukup baik, atau tidak diterima bisa membekas hingga dewasa.
Minimnya Pendidikan Emosional dan Mental
Ironisnya, di tengah tekanan mental yang tinggi, sekolah justru jarang menyediakan ruang atau kurikulum untuk belajar mengenali dan mengelola emosi. Anak diajarkan matematika, bahasa, dan IPA, tetapi tidak pernah benar-benar diajarkan bagaimana menghadapi stres, menenangkan diri, atau mengekspresikan perasaan dengan sehat.
Padahal, keterampilan emosional ini sangat penting untuk membentuk manusia yang resilien dan berdaya tahan mental. Ketika aspek ini diabaikan, sekolah hanya menjadi tempat yang membentuk kecerdasan kognitif, tapi meninggalkan anak-anak dengan luka emosional yang tak terlihat.
Kesimpulan
Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuh, bukan tempat tertekan. Namun realitas yang dihadapi banyak siswa justru menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini belum cukup memperhatikan dimensi psikologis dari proses belajar. Tekanan nilai, jadwal yang padat, relasi yang tidak humanis, serta kurangnya perhatian pada kesehatan mental membuat sekolah kerap menjadi sumber kecemasan.
Jika pendidikan ingin benar-benar membentuk manusia yang utuh, maka kesehatan mental anak tidak bisa lagi dikesampingkan. Lingkungan belajar harus dirancang untuk merangsang rasa ingin tahu sekaligus menjaga keseimbangan emosi. Tanpa itu, sistem pendidikan hanya mencetak siswa yang terampil di atas kertas, tapi rapuh dalam kehidupan.